Sabtu, 17 Desember 2016

“ Siapa bilang Hijab hanya Tradisi Arab?! ”


Aku cinta budaya ku, tapi aku lebih cinta agama yang ada padamu.
Ah kurasa, ungkapan itu cukup mewakili setiap jejak yang membias dalam perjalananmu. Bukan sekedar ironi jiwa si pemuda atau jerit kerisauan si gadis. Indonesia, sebuah negeri yang bagi dunia letaknya tak terjangkau. Bukan karena indonesia tak tersentuh dalam peta dunia atau globe yang katanya berbentuk bola, kenapa katanya?! Sebab aku lebih sepakat jika dunia di simbolkan sebagai sebuah hamparan. Ya... hamparan kasih Illahi, hamparan harapan setiap anak manusia, hamparan cinta Pencipta yang tak berbatas lengkungan atau pun tebing curam. Aku lebih suka mengatakan dunia adalah hamparan... hamparan kasih yang tiada batasnya.
Indonesia... adalah negeri yang penuh dengan anugrah Tuhan, jejeran pulau yang membentang dari sabang hingga marauke nyatanya menelisik setiap jiwa yang menjejakkan kaki di belahan bumi-Nya. Surga yang terasingkan, dengan kekayaan yang tak berbatas, hanya saja si ‘rakus’ nampaknya masih asik memonopoli kekayaan Alam rakyatnya. Aku, akan lebih suka jika yang menikmati adalah putra kandung Indonesia, tapi lihatlah, dengarlah tangis anak negeri yang setiap aliran nafasnya di renggut si penjajah. Saat anak negeri, terasingkan dan kembali terjajah bersamaan dengan kemerdekaan yang telah diperjuangkan pahlawannya, saat sang saka berkibar di seluruh tiang tertinggi negerinya. Nyatanya, si pemuda dan si gadis masih terkungkung dalam Kerasnya Asing yang berkuasa.
Sudahlah, aku sedang tak ingin mengurai rintih jiwaku diatas keyboard tua yang hampir punah. Menghabiskan tintaku, mengurai setiap kata diatas selembar kertas yang kian usang. Saat pena diangkat dan tulisan kian mengering maka sejarah telah tertoreh dengan nyata disetiap jejak anak manusia.
Lihatlah mentari yang memantulkan cahaya di ujung barat, menyebar dan memantulkan cahayanya secara lokal. Bias!. Bayang jingganya perlahan tenggelam di garis pantai, tampak begitu dekat bukan? Menjingga, perlahan menggelap lalu menghilang. Simbol dunia yang kian tua, simbol keangkuhan jaman yang mulai menelisik menjauh dari norma dan moral anak negeri yang kental dengan budaya ketimuran, budaya yang menjunjung tinggi moral dan keselarasan dengan agama yang di yakini.
Apa lagi ini?! Aku masih saja menjejalkan kaki diatas pasir pantai, menikmati hempasan ombak yang menebarkan aroma basah khas samudra. Bulirnya lembut menerpa wajahku.  Memantulkan pesona nusantara yang tak pernah habis dari perbincangan, nusantara yang penuh dengan adat tradisi dan kebudayaan yang masih sangat kental.
Ini tentang perjalanan anak manusia, yang kadang terasingkan dalam dilema sanubarinya sendiri. Di sudut kota tanpa lampu, anak pesisir di pulau terpencil dari sekian ribu pulau kecil lainnya. Ah salam rindu dari sebuah pulau cinta, Pulau Lombok yang mungkin masih dipertanyakan keberadaannya. Seperti waktu itu, saat kaki ini melangkah pertama kali di tanah Kembang.
“NTB itu dimana?”
Pertanyaan itu sontak membuat gejolak dada kian lebih cepat, bayangkan saja jangankan Lombok, NTB pun tak terbayangkan dalam benak mereka.
“Lombok itu di NTB.” Jawabku sekenanya, ku pikir itu hanya gurauan rekan ku dalam pertemuan nasional.
“Loh... lombok dan NTB itu satu?!” tanya mbak Nina mahasiswi Unila.
“Aku kira Lombok, ya Lombok. NTB ya NTB, Mataram ya Mataram?!” imbuh yang lainnya.
“Wah, aku kira mbak becanda gak tau lombok. Jadi NTB itu merupakan sebuah provinsi yang terdiri atas beberapa pulau. Dengan dua buah pulau induk, yaitu pulau Sumbawa dan pulau Lombok. Sumbawa pun, ada bagiannya lagi. Begitu juga di Lombok. Kalau Mataram itu ibaratnya ibu kota Lombok. Di lombok sendiri ada pulau kecil yang dikenal dengan sebutan gili.” jelasku, rasanya ingin sekali memaparkan Lombok sebagai pulau kecil yang indah.
“Nah, kalau gili trawangan aku tau!” seru Azalia yang saat itu baru bergabung bersama kami.
Yang benar saja, Lombok tak masuk kedalam ingatan meraka, tapi justru Gili “Tralala-Tralili” begitu mereka ingat. Tralala-Tralili itu pun nama yang di berikan kawan Ikahimatika Indonesia saat berkunjung beberapa tahun yang lalu, kata mereka sih nama itu cocok untuk pulau kecil di Lombok yang menawarkan pesonanya. Jika Pulaunya saja tak masuk daftar, bagaimana budaya yang ada di dalamnya.?! Baru saja ingin ku lanjutlan ceritaku tentang si Kecil yang menjadi Pulau Serambi Madinah, tiba-tiba pengeras suara di gedung Keong Telkom University Bandung membuyarkan obrolan kami saat itu. ****
Pertemuan hari itu, menjadi sebuah cambuk bagiku. Ya setidaknya 4 hari aku disini, bisa membuat mereka sedikit lebih mengenal Lombok. Belum sempat aku, sampaikan mbak Azalia mahasiswi UNS menyentuh bahuku. “mbak puji, ntar ceritain ya Lombok itu kaya gimana?” pintanya. “Ok! Mbak.”
Senja mulai beranjak, menepi pada peraduannya. Pertemuan pagi hingga sore hari ini disudahi, gema takbir mulai menghiasi seantero kota Kembang. Jangan heran, Ramadhan baru saja bersemi. Saat perjalanan kembali ke asrama tempat kami menginap, “Mbak, kita ngabuburit yuk. Sekalian mbak ceritain lagi Lombok kaya gimana?” Mbak Nina mengajak kami keluar Kampus untuk mencari jajanan di depan kampus Telkom. “Ya udah ayok.” Jawabku, dan di sambut anggukan mahasiswi lainnya. Dan kami berbalik haluan.
Benar saja, dari balik pintu gerbang kampus sudah berjejer pedagang yang menjajakan jajanan khas buka puasa. Kami memilih minum es podeng khas Bandung.
“Lombok itu, terkenal dengan Rinjani dan Pantainya mbak. Kalau ke lombok belum pernah ngerasain ombak pantainya mah belum afdhol. Yang aneh, kok bisa Lombok belum di kenal di FP (Forum Prempuan) BEM SI padahal beberapa bulan kemarin kita kan RAKERNAS BEM SI di sana.” Aku memulai perbincangan.
“Ia mbak, nyesel juga gak ikut kesana. Tapi, aku masih penasaran lo mbak dengan budaya disana. Pernah dapat cerita, katanya di sana afwan pakaian ADK khususnya akhwatnya khas banget ya?! Cenderung mengadopsi tradisi arab. Maksudku, kita berpakaian syar’i tapi ada juga akhwat yang berpakaian seperti kebanyakan orang arab?” tanya salah seorang aktivis.
“Hem... bagi kami, mahasiswi yang aktif di ADK/LDK khususnya di NTB sangat tidak sepakat jika kami berhijab di anggap mengikuti budaya arab. Aku yakin, mbak dan teman-teman lainnya sudah sama-sama memahami hakikat dari hijab, jilbab, khimar bahkan kerudung itu seperti apa. Menutup aurat bagi umat muslimah adalah sebuah kewajiban, keniscayaan yang harus di taati oleh setiap wanita yang mengaku beriman. Bukan pekara kita sudah baik, justru karena kita ingin memperbaiki dirilah hingga kita memutuskan untuk berhijab. Jika menunggu baik, atau seperti kata sebagian wanita ‘tak penting luarnya, yang penting hatinya’. Lantas siapa yang menjamin kita akan berada di dunia ini sampai kita ‘baik’, belum lagi ‘baik’ akan bernilai relatif sebab setiap orang punya kriteria yang berbeda untuk di anggap ‘baik’.” Sejenak ku tarik nafas.
“jika yang dimaksud mengikuti budaya arab adalah dengan mengenakan cadar atau pakaian longgar dan khimar yang menjulur lebar menutupi sebagian besar tubuh. Maka mbak-mbak belum mengenal budaya kami di NTB. Siapa bilang berhijab hanya budaya Arab?! NTB itu....” perkataan ku terpotong oleh suara adzan yang menggema dari masjid Syamsul ‘Ulum kampus Telkom.
Allahu Akbaaar.... Allahu Akbaarr!!!
Allahu Akbaaar.... Allahu Akbaarr!!!....
Panggilan Allah telah terdengar, perbincangan senja itu kami hentikan sejenak untuk memenuhi panggilan Kekasih. Allah!! Mudahkanlah hati mereka menerima kebenaran perintah-Mu. Bukan, tentang sebuah budaya namun tentang pengabdian diri seorang muslimah. Tentang bukti cinta, tentang sebuah pemantasan Memandang Wajah-Mu kelak.
            Langkah menuju masjid Raya kampus begitu ringan, terasa benar nikmatnya berpuasa di tanah yang berbeda, dengan suasana yang berbeda pula. Setelah berjalan beberapa menit, masyaa Allah masjid di hadapan ku. Dengan pelataran masjid yang dihiasi lampion berwarna warni yang membentul tulisan “SYUKRAN” lalu di sisi lain bertengger pula lampion dengan tulisan “AL-IKHWAN” sebagai tanda dan batas area ikhwan bukan tentang pemboikotan daerah he, ternyata itu tradisi di sepanjang bulan Ramadhan. Ada area khusus yang tak boleh dilanggar Ikhwan-Akhwat jama’ah Masjid Syamsul ‘Ulum, hal ini karena mereka akan melakukan rutinitas Terawih berjama’ah dan demi menjaga ke akhsan an ikhwan-akhwat disepakatilah area khusus bagi keduanya.
            Usai menjalankan ibadah shalat Magrib dan rutinitas lainnya, kami kembali membentuk lingkaran untuk melanjutkan diskusi tadi yang sempat terhenti.
“jadi, gimana mbak?” tanya azalia memulai perbincangan.
“sampai mana tadi?! ... oya, seperti yang tadi siang aku bilang NTB itu gak hanya Lombok, disana ada juga pulau Sumbawa, dan di Sebrangnya ada Pulau Bima dengan kota-kota yang ada di dalamnya. Setiap pulau di NTB memiliki budaya dan tradisinya masing-masing. Bahkan di satu desa dengan desa lainnya memiliki adat kebiasaan yang berbeda. Salah satu adat yang patut dan harus –menurut saya– untuk di lestarikan adalah adat Rimpu. Rimpu sendiri adalah busana wanita Bima yang menggunakan dua lembar (dua sando’o) sarung untuk bagian atas dan bawah. Sedangkan kaum lelakinya tidak memakai rimpu, tetapi memakai “katente” yaitu sarung yang digulung di pinggang.  Rimpu sendiri ada dua jenisnya. Yaitu Rimpu Mpida yang digunakan oleh kaum hawa yang masih gadis atau yang belum menikah, dan Rimpu Colo yang di pakai para ibu-ibu.” Aku berhenti sejenak untuk melihat respon mereka. Sejenak mereka terdiam, sesekali mengangguk dan menampakkan rasa penasarannya.
“Lanjutkan ukh, hem afwan boleh ana bergabung?” sebuah suara, tiba-tiba menyapa dari belakang lingkaran kami. Aku tersenyum saat melihat kearahnya, ternyata mbak Fadqi mahasiswi dari Sebi.
Tafadholy mbak” jawabku, dan di ikuti senyum yang lainnya. “Nah, Rimpu Mpida sendiri tata cara penggunaannya sangat mirip seperti akhwat yang mengenakan cadar. Para gadis Bima tidak diperkenankan menampakan wajahnya selama belum menikah. Mereka hanya boleh memperlihatkan wajahnya kepada mahromnya saja dan para gadis sebayanya di ruangan tertutup yang tidak dilalui lelaki. Rimpu Mpida atau dikenal juga dengan istilah Rimpu cilik digunakan oleh para gadis saat akan keluar dari rumah, jika mereka keluar rumah tanpa menggunakan Rimpu Mpida dan memamerkan aurat maka mereka akan dikenakan sanksi. Hal ini, karena mereka ddianggap telah melanggar hukum moral, hukum keagamaan dan adat istiadat. Tapi, bukan berarti wanita Mbojo (istilah untuk wanita Bima) merasa terkekang dengan peraturan budaya ini, mereka justru mengingat dan tetap menjunjung tinggi budaya tersebut karena mereka sadar bahwa hal ini akan mengokohkan keyakinan mereka dan kepercayaan merea terhadap perintah-perintah yang ada di dalam Agama dan Kepercayaan mereka. Hal ini berlaku tidak hanya untuk para gadis, hal yang sama pun di patuhi oleh para ibu-ibu mbojo. Mereka sangat menjunjung tinggi budaya dan tradisi muslimah di Mbojo. Tapi, lihatlah setelah era modernisasi masuk dan merusak moral anak bangsa dengan berbagai mode dan trend yang meruntuhkan moral dan budaya ketimuran khas Indonesia. Memonopoli adat tradisi, dan mensuntikkan budaya khas kebarat-baratan. Berbagai macam media mereka luncurkan. Mulai dari koran, majalah, radio, lalu berkembang ke media Visual lainnya Televisi, bahkan Internet merambah berbagai sendi kehidupan. Budaya Timur bangsa Indonesia perlahan namun pasti mulai bergeser, digantikan dengan budaya Barat, yang afwan harus ana katakan jauh dari ‘moral dan kebiasaan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan malu’. Budaya Asing mulai menggerogoti anak bangsa, mendoktrinkan bahwa budaya menutup aurat menjalankan perinta agama adalah budaya Arab, dan mereka mengasumsikan bahwa budaya yang mereka bawa adalah budaya nusantara. Astaga, apakah mereka sehat?! Atau mungkin kita yang kurang sehat, hingga menelan mentah-mentah setiap doktrin yang mereka berikan. Pantas saja, mereka semakin girang memainkan peran di tanah air. Meraup sebanyak-banyaknya kekayaan alam yang ada di dalamnya. Tidak hanya kekayaan alam kita yang dirampok, nyatanya perjalanan ‘sejarah’ anak bangsa pun perlahan mereka ingin musnahkan. Membuat setiap orang bersitegang membantah budaya dan tradisi nusantara.” Jelasku panjang lebar, ingin rasanya meremas setiap budaya yang mereka tebar di tanah airku.
“Astaghfirullah,.. ternyata seperti itu budaya di NTB. Subhanallah... benar, kadang kita di buat tak sadar dengan virus yang di tebar asing.” Timpal mbak Nina.
“Ia mbak, kita sadar atau tidak itu semua karena permainan mereka yang terlampau rapi. Menguasai ranah industri, menayangkan segala sesuatu yang menguntungkan bagi mereka. Alhasil pemuda-pemudi desa yang awam dengan hal-hal berbau teknologi menelan mentah-mentah setiap tayangan yang di sajikan. Dan... sudah bisa kita baca hasilnya seperti apa. Putra-putri Indonesia mulai menjauh dari tradisi dan norma yang berlaku di Indonesia, mulai tertarik menggunakan mode dan trend baru yang di tayangkan. Menganggap adat dan budaya sebagai sesuatu yang Kolot, ketinggalan jaman, kampungan dan lain sebagainya. Padahal, mereka tidak sadar bahwa mereka telah di gerogoti dari berbagai arah. Mereka di racuni fikirannya, dirusak tatanan nilai dan moralnya, keragaman dan kebanggaan terhadap agama dan keyakinannya perlahan dikoyak hingga tak bersisa. Lalu pergaulan bebas sebebas-bebasnya menjadi surga kedua bagi mereka yang mengikuti arus perkembangan jaman. Membuat mereka lalai dalam kenikmatan semu. Astaghfirullah... bukankah mereka adalah orang-orang yang merugi?!”
“bener mbak, saya sepakat.” Timpal mbak Azalia. “jadi penasaran seperti apa model pakaian Rimpu itu?”
“Kebetulan saya punya fotonya, sebentar.” Ku keluarkan Handphoneku dari dalam saku almamater ku tercinta, lalu menunjukan beberapa foto Rimpu Mpida dan Rimpu Colo.
“wah, sayang sekali kalau budaya sebagus ini harus pudar ditengah masyarakat.” Keluh mbak Nina.
“itulah mbak, saat ini Rimpu hanya digunakan oleh gadis-gadis desa di pedalaman Bima dan sesekali di kenakan oleh gadis modern saat melangsungkan even di kota. Festival adat dan lain sebagainya, sedangkan dalam keseharian kebanyakan dari mereka mengadopsi budaya barat.” Jawabku.
“sayang sekali mbak, benar-benar patut disayangkan. Budaya ini harus dilestarikan. Sangat penting bagi masyarakat terutama kaum hawa untuk melindungi mereka dan agar lebih mudah dikenali.” Timpal mbak Fadqi.
Allahu Akbaar... Allahu Akbar...!!!
Allahu Akbaar... Allahu Akbar...!!!.....
            Adzan kembali berkumandang. Alhamdulillah tepat disaat aku selesai membagi budaya dari ujung Nusantara. Sebuah budaya yang hanya menjadi sejarah manis, sejarah yang bahkan terasingkan dan tak semua orang tahu akan sejarahnya. Sejarah yang hanya akan menjadi sejarah jika tak ada yang menceritakannya kembali. Sejarah perjalanan anak manusia yang pernah begitu dekat dengan moral dan nilai keluhuran, begitu kental dengan pondasi agama dan kokoh dalam ketaatan kepada Tuhannya, Allah Azza wa Jalla.
            Hari ini, akan menjadi saksi peraduan rindu seorang kekasih yang terlanjur jatuh cinta pada sejarah yang pernah ada. Sejarah yang pernah begitu gemilang di era 19. Ah sejarah yang takkan pernah lekang dari hati para Pecinta yang hadir cinta hanya karena-NYA. Lalu masih kau pertanyakan cinta ku pada budaya nusantara? Budaya yang mana? Budaya yang murni terlahir dari para anak negeri atau kah budaya yang lahirnya dari antah berantah negeri yang mana?! Aku masih mengasingkan diri, budaya mana yang semestinya kuturuti? Budaya yang mengagungkan kebebasan? Mengatas namakan kesenangan dunia? Trend? Mode? Penampakkan lekuk tubuh tanpa malu yang semestinya menjadi ciri khas wanita nusantara. Tentang malu ini, ku rasa tak lagi bicara keranah satu agama. Bukankah setiap fitrah wanita nusantara adalah malu? Lalu mengapa tak kau kenakan pakaian malu mu saat mengadopsi budaya barat yang tak mengenal malu?
            Ya Rabb... ampuni kami, yang terlampau asik bermain dengan berbagai gaya dan ragam mode. Hingga kadang kami lalai dari setiap aturan yang ada.
Malam ini, telah di usaikan sepotong kisah. Sebait cerita. Tentang kegusaran anak dari ujung senja. Ya, selalu ada senja disetiap rangkaian kataku. Karena aku terlahir disebuah simpang pesisir pantai, bermain dengan pasir dan gelombang yang bermandikan cahaya senja. Kadang aku menghabiskan berjam-jam waktuku di tepian pantai, menikmati hempasan air laut yang menggulung-gulung dengan begitu lembutnya. Kadang aku pun menikmati, filosofi cinta yang ditebar samudra atas izin-Nya. Tentang Cinta gelombang yang menghempas tanpa menyakiti karang di laut. Tentang Rasa yang menjelma kedamaian dalam birunya samudra, tentang hati yang meluaskan pandang mata. Atau tentang Kamu yang takkan selalu di mengerti hadirnya. Kadang diam, kadang bising, kadang hadir kadang pun berlalu.
Sudahlah, aku tak hanya suka senja.
Aku pun suka dengan pelangi di ujung jingga, pelangi yang terlahir setelah gerimis basah menerpa wajahku. Lembut mengalunkan rindu yang kadang singgah di simpang hati. Rindu memandang wajah-MU. Duhai jiwa!!! Dimana raga kau sandarkan?!
            Rasakanlah, gerimis yang diterpa angin pantai lalu jatuh menimpa wajahmu. Menarilah ditengahnya. Sebab takkan ada yang tau bahwa kau tengah menangis. Menangisi sejarah yang tersimpan dengan begitu rapi dalam peti kayu yang mulai membeku.
Tapi malam ini, aku tak sedang jatuh cinta pada senja, jingga atau pun gerimis. Aku tengah jatuh cinta pada langit malam di kota Kembang. Ah Bandung, kau menjadi bagian cinta dan sejarah baru dalam jejakku. Aku tengah jatuh cinta. Ya... jatuh cinta pada langit luas yang menghitam di hiasi berjuta bintang disana. Ambil satu bintang dan rangkailah ia dengan bintang lainnya. Bisa jadi, kan kau temukan semburat wajah di kolong langit malam ini. Satu lagi, aku cinta budayaku. Namun, aku lebih cinta pada agama yang ada padamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar